Opini

Menguji Etika dan Integritas Penggawa Pilar Keempat Demokrasi

Dua belas bulan ke depan, Indonesia akan memasuki periode menjelang pesta demokrasi terbesar. Tidak hanya memilih pimpinan tertinggi negara beserta lembaga tinggi lainnya, tapi juga menentukan nasib jalannya konstitusi di dalam negeri.

Dalam perjalanannya, kontestasi politik akan diramaikan dengan ragam jenis kampanye dari tiap-tiap kandidat serta partai politik. Masyarakat akan dijejali dengan beragam pesan politik yang menyuarakan kepentingan bermacam-macam kelompok dan golongan.

Dalam konteks ini, pers dan dunia jurnalistik merupakan salah satu elemen yang memegang peranan kunci. Melalui pers, suatu organisasi atau individu dapat menyampaikan visi dan misinya kepada masyarakat luas, sekaligus memperoleh dukungan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Bahkan, di beberapa negara yang menganut sistem demokrasi, pers didapuk sebagai the fourth estate yang merujuk pada tugas memonitor dan mengawasi kegiatan pemerintah. Lebih jauh lagi, Insan Pers menjadi saluran untuk mekritisi kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Secara ideal, Pers menjalankan tugas strategis dalam menjaga keseimbangan kekuasaan di tengah masyarakat.

Pers adalah wujud yang paling berkuasa di Bumi. Mereka punya kekuatan untuk membuat yang tidak bersalah menjadi bersalah dan sebaliknya, dan itulah kekuasaan mereka. Karena mereka bisa mengendalikan pikiran banyak orang, kata Malcolm X, seorang aktivis HAM asal Amerika Serikat.

Kutipan tersebut rasanya relevan dengan situasi tahun politik dewasa ini. Tak jarang publik mengandalkan para jurnalis untuk tidak hanya melaporkan berita dengan cepat, tetapi juga akurat dan jujur. Insan Pers sejatinya juga dapat mewakili suara masyarakat meminta pertanggungjawaban politisi dengan memeriksa fakta pernyataan mereka, dan melaporkan ketidakkonsistenan atau informasi yang menyesatkan. Mereka pula dapat memberikan analisis mendalam tentang isu dan kebijakan politik, hingga membantu publik memahami implikasi dari posisi kandidat yang berbeda.

Dalam buku Governing With The News , disebut bahwa pers bertanggung jawab untuk melaporkan berita secara akurat dan objektif, terlepas dari iklim politik atau kepercayaan pribadinya. Hal ini menjadi penting ketika media massa telah menjadi industri masif dan rawan terpengaruh oleh substansi bisnis. Sirkumstansi ini menjadi krusial bagi insan pers untuk berpegang teguh pada standar etika profesi mereka.

Situasi perkembangan politik yang sangat dinamis dapat ‘menggoda’ para penggawa pilar keempat demokrasi untuk membiarkan bias atau agenda pribadi mempengaruhi karyanya. Penting bagi insan pers untuk tetap objektif dan akurat dalam menghasilkan produk jurnalistik, mengingat peranan memberi informasi kepada publik dan representasi peristiwa yang adil dan tidak memihak. Dengan mempertahankan standar etika mereka, pers dapat memastikan bahwa mereka tidak berkontribusi pada penyebaran informasi yang salah atau malah mendorong terjadinya polarisasi yang ekstrem.

Pada saat yang sama, peran praktisi kehumasan atau Public Relations juga tidak kalah signifikan. Sebagai mitra insan pers, praktisi kehumasan bertanggung jawab menyusun pesan yang jujur dan transparan. Seorang insan humas bertanggung jawab untuk menyusun program komunikasi yang sehat, beradu narasi bukan sekadar kontroversi, menyuarakan gagasan bukan hanya bualan.

Kesimpulannya, baik jurnalis maupun praktisi kehumasan dituntut untuk menjaga integritas dan menegakkan standar etika dalam lanskap media yang berkembang pesat saat ini. Merupakan tanggung jawab mereka untuk memastikan bahwa publik memiliki akses terhadap informasi yang akurat, tidak memihak, dan jujur serta transparan dalam upaya komunikasi mereka.

Secara keseluruhan, kolaborasi yang erat antara professional kehumasan dan jurnalis sangat penting untuk memastikan terciptanya iklim komunikasi politik yang bersih. Sinergi yang baik antara jurnalis dan praktisi kehumasan, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap keputusan masyarakat di kotak suara.

Sudah saatnya pers dan praktisi kehumasan berikrar untuk menciptakan situasi kondusif dan menjunjung tinggi etika profesi masing-masing. Kita tak lagi ingin merasakan getirnya polarisasi hanya karena beda preferensi dalam pesta demokrasi.

Ditulis oleh: Muhammad Rivan Aulia Tanjung, Wakil Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Muda, Badan Pengurus Pusat PERHUMAS