Opini

Apa Kabar Dunia Maya dan Public Relations 2021?

Jakarta, 18 Agustus 2021 – Dunia Public Relations(PR) dewasa ini hampir mustahil untuk tidak dikaitkan dengan internet/dunia maya. Menarik ketika mengintip isi laporan Digital News Report 2021 edisi ke-10 versi Reuters Institute, Oxford University, teruntuk para pegiat komunikasi dan tentunya tak luput untuk para praktisi serta akademisi kehumasan. Laporan ini menyajikan analisis dan data seputar kondisi jagat maya secara global, membedah lebih dalam fenomena perubahan yang terjadi pada News Media, Media Social, Medium, dan tentunya Users dari masing-masing negara yang diperuncing oleh pandemi virus Covid-19.

Virus Covid-19 menjadi pukulan telak untuk hampir semua industri di dunia. Krisis kesehatan merambat pula beriringan dengan krisis ekonomi di mana salah satunya perubahan besar berdampak pada industri media berita, media sosial, serta kebiasaan warganet. Dari mulai negara-negara di Eropa, Amerika, Asia-Pasifik,  sampai Afrika teranalisis pada laporan ini.

Sekilas Global

Mengerucut pada bagian pembahasan negara Indonesia, metodologi yang digunakan menarik 2.007 sampel, diikuti dengan tingkat penetrasi internet sebanyak 71% (sumber: Internet World Stats). Beberapa ringkasan global yang tersampaikan pada riset sampai dengan awal tahun 2021 seperti berikut ini:

  • Kepercayaan pada berita telah tumbuh, rata-rata, sebesar enam persen poin setelah pandemi virus Covid-19 dimana  44% total sampel mengatakan bahwa mereka mempercayai sebagian besar berita hampir sepanjang waktu.
  • Di saat yang sama, mempercayai berita dari mesin pencarian dan media sosial tetap stabil. Ini berarti trust gap antara berita secara umum dan apa yang ditemukan oleh ragam lapisan masyarakat yang tergabung sebagai warganet telah berkembang pada sumber berita yang akurat dan dapat diandalkan.
  • Di sejumlah negara, terutama negara dengan media layanan publik independen yang kuat, laporan ini telah melihat konsumsi informasi yang lebih besar dari brand kantor berita tepercaya. Polanya kurang jelas untuk Eropa Barat bagian luar, di negara-negara tersebut isu krisis virus Covid-19 kurang mendominasi, masalah politik, dan sosial mengambil porsi yang lebih besar.
  • Televisi terus tampil kuat di beberapa negara, akan tetapi surat kabar/koran jauh lebih tajam menurun karena terdampak pada faktor lockdown dan menyebabkan akselerasi pergeseran ke masa depan digital.
  • Penggunaan media sosial untuk meraih berita tetap kuat, terutama para kaum muda dan mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Aplikasi pesan seperti WhatsApp dan Telegram telah menjadi sangat populer di Global South, menyita perhatiaan yang sangat besar ketika sebaran informasi yang salah tentang virus Covid-19 terjadi.
  • Kekhawatiran global tentang informasi palsu dan menyesatkan telah sedikit lebih tinggi di tahun ini, mulai dari 82% di Brazil hingga hanya 37% di Jerman. Mereka yang menggunakan media sosial lebih banyak cenderung mengatakan bahwa mereka telah terkena informasi yang salah tentang virus Covid-19 daripada non-pengguna media sosial. Facebook dianggap sebagai saluran utama penyebaran informasi palsu, tetapi aplikasi perpesanan seperti WhatsApp dipandang sebagai masalah yang lebih besar di belahan dunia Selatan seperti Brazil dan Indonesia.

Sekilas Indonesia

Indonesia merupakan pasar terbesar di Asia tenggara dengan ragam sektor media yang aktif. Namun tekanan ekonomi yang disebabkan oleh virus Covid-19, persoalan berita palsu, dan ancaman seputar ketentuan hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal pencemaran nama baik, menjadi tantangan untuk bisnis industri media pada tahun 2020 lalu.

Situs media sosial seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia. Tiktok sangat populer di kalangan generasi muda juga di berbagai wilayah Indonesia. Banyak politisi dan partai menggunakan komentator berbayar atau yang dikenal sebagai “buzzer”, dan akun otomatis (bot) untuk menghasilkan propaganda politik menjelang pemilihan umum pada bulan April 2019. Banyak perhatian telah diarahkan pada penggunaan media sosial untuk menyebarluaskan dis-informasi (hoax) dan narasi kebencian. Krisis virus Covid-19 khususnya telah menyebabkan longsoran informasi yang salah, mulai dari “bahaya” termometer hingga desas-desus bahwa vaksin dicampur dengan daging babi.

Pandemi telah mempengaruhi keseluruhan perekonomian Indonesia, dan media sangat menderita terutama karena kehilangan pendapatan dari sisi periklanan. Perusahaan-perusahaan swasta memotong anggaran pemasaran mereka, pemerintah daerah meningkatkan pengeluaran mereka untuk media terutama di provinsi-provinsi. Sebagian besar Kementerian mengalokasikan dananya untuk mempromosikan kegiatan mereka melalui pembelian iklan, sehingga membantu untuk menjaga bisnis media tetap bertahan. Dua surat kabar – Koran Tempo dan Indo Pos, edisi nasional JAWA POS – berhenti menerbitkan edisi cetak pada tahun 2020, dan Suara Pembaruan menghentikan edisi cetaknya pada Februari 2021. Media cetak lainnya seperti Majalah Tempo, Koran Kompas, dan The Jakarta Post, telah memperkuat “paywall” mereka. (Janet Steele Professor of Media and Public Affairs and International Affairs, George Washington University).

Dalam kacamata Public Relations

Singkat pendapat dan perspektif, bahwa saduran “Change is the Only Constant – Heraclitus” pada buku Adapt or Die karya Agung Laksamana sangat jelas sekali nyata untuk seorang praktisi PR.

Perubahan media, media online dan media sosial tetap menjadi sumber paling populer untuk akses pemberitaan di Indonesia dengan sampel yang didapatkan dari warga perkotaan, namun TV dan radio tetap menjadi penting untuk jutaan orang yang tidak mengkases online, papar laporan tersebut. Mayoritas akses berita internet adalah melalui smartphone sebanyak 85% dibandingkan dengan komputer yang kalah populer.

Alangkah wajib rasanya bagi para praktisi PR saat ini untuk mengetahui dan beradaptasi pada perubahan media ini. Guna memaksimalkan dan mengefektifkan pesan serta interaksi yang ingin disampaikan kepada masing-masing pemangku kepentingan dari masing-masing instansi PR tersebut bernaung.

Landasan data bahwasanya strategi komunikasi yang telah diramu oleh sebuah tim PR harus melalui beragam media yang sangat beragam dewasa ini. Seperti pada contoh gambar di atas, tercatat untuk Indonesia bahwa dominasi warganet mengakses pemberitaan ialah melalui gawai pintar mereka.

Mengikuti perubahan tajam kebiasaan masyarakat dewasa ini dalam mengkases informasi, nyatanya dapat dilihat pada laporan capaian mingguan online dan offline dominasi unggul melalui ragam media berita daring dan dilanjutkan pula televisi, radio, serta surat kabar.

Belum lagi bicara soal tingkat kepercayaan, secara keseluruhan tingkat kepercayaan warga Indonesia (berdasarkan sampel) terhadap berita ialah tergolong rendah yakni 39%. Kantor berita CNN Indonesia yang dimiliki oleh konglomerat lokal Transmedia meraih ranking tertinggi sebanyak 69%. Sampel responden lainnya mengatakan tidak begitu percaya dengan salah satu kantor berita yang cukup ternama, beberapa mengungkapkan mereka hanya mengedepankan gaya sensasional dalam pemberitaan.

Hal lain yang perlu pula diperhatikan oleh para praktisi PR ialah, beberapa news aggregators berhasil meraih hati para warganet tidak hanya di Indonesia namun pula di Jepang, Korea Selatan, juga India. Ambil contoh Line Today, bila Anda masih memiliki aplikasi Line pada gawai, dipastikan fitur tersebut pasti berhasil meraih atensi mulai dari kabar perceraian selebritas nasional sampai isu politik yang tengah ramai di tanah air. Seksi ini pun tak boleh luput dari pandangan seorang PR, bisa jadi pemberitaan brand atau perusahaan Anda tidak hanya dapat diakses di Kompas.com namun juga melalui Line Today. Udah pernah cek belom?

Selanjutnya, menarik pula bila kita coba tanya apa yang dilakukan kebanyakan kaum muda saat pembatasan sosial berlangsung? “Tik Tok-an!”Ya, satu media sosial pendatang baru yang berhasil booming tidak hanya di Indonesia namun pula global adalah TikTok. Baik mereka yang hanya penikmat konten-konten sampai pada penikmat sekaligus pembuat konten TikTok. Industri media berita global pun turut beradaptasi dengan mengemas berita mereka dengan gaya TikTok, hal itu bisa terlihat ketika sudah bisa terukur secara statistik di berbagai negara, seperti Thailand, Afrika Selatan, Peru, Mexico, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri, sebanyak 24% pengguna TikTok mengakses untuk beragam tujuan konten hiburan sedangkan 11% lainnya adalah untuk mengakses berita. Ya, mereka cari berita lewat TikTok!

Namun secara statistik, medium pesan WhatsApp masih berperan utama dalam kontribusi lalu lalang berita dan informasi di Indonesia, diikuti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, dan Telegram. Ya inilah salah satu fakta versi Reuters Institute tentang dinamika media digital dan sosial yang berperan di perkancahan pemberitaaan dan informasi tanah air.

Sejatinya, ulasan ini masih satu dari sekian banyak data dan analisa tentang dunia komunikasi saat ini yang rasanya perlu diresapi dan sesuaikan khususnya bagi para praktisi PR untuk instansi/organisasinya masing-masing. Dan menjadi literasi atau pembelajaraan yang sangat menarik untuk para akademisi komunikasi saat ini.

Terima kasih untuk Anda yang menyempatkan membaca persepsi dan ringkasan sederhana dari penulis, doa-doa baik untuk kita semua yang saat ini belum sempat meluangkan waktunya melainkan tengah berjuang untuk diri sendiri, orang tua, keluarga, teman, rekan serta orang sekitar melawan cobaan virus Covid-19. Salam #IndonesiaBicaraBaik

OPINI oleh Rizky Chaerulsyah Saragih, Ketua Bidang Pengembangan PERHUMAS Muda