slide

Belajar dari Kasus Bell Pottinger

Etika menjadi topik yang seringkali terabaikan dalam komunikasi korporat. Mengutip buku Mengelola Etika dalam Bisnis yang diterbitkan Yayasan Indonesia Business Links pada 2006, Etika adalah prinsip atau standar yang mengatur perilaku komunitas, kelompok, organisasi dan individu. Lebih lanjut dikatakan bahwa etika lebih dari moralitas yang merupakan penilaian baik dan buruk, benar dan salah.

Etika bahkan lebih dari hukum, karena merupakan perpaduan antara standar perilaku yang dibentuk oleh hukum, nilai-nilai kemasyarakatan, aturan-aturan bisnis dan norma standar. Bisa saja suatu tindakan tidak termasuk sebagai sebuah pelanggaran hukum, tapi tindakan itu tidak etis.

Panduan di atas juga menyebutkan yang dianggap tidak etis di dunia bisnis, seperti: pelanggaran hukum internasional atau lokal, pelanggaran nilai-nilai dan kode etik suatu organisasi, perilaku licik (deceptive), pelanggaran sengaja terhadap suatu janji atau kesepakatan, dll. Kemampuan manajemen dan etika bisnis adalah dua hal yang tak terpisahkan. Dampaknya bisa fatal terhadap perusahaan jika diabaikan.

Seperti yang dialami oleh perusahaan public relations terkemuka yang berkantor pusat di London, Bell Pottinger. Sebuah proyek besar yang diperoleh di awal 2016 menjadi awal bencana yang mengakhiri perjalanan perusahaan ini pada 12 September 2017, setelah sembilan belas tahun berdiri sejak 1998.

Perusahaan di Afrika Selatan yang bernama Oakbay Investments mengontrak Bell Pottinger dengan retainer sebesar £100.000 per bulan (setara dengan hampir Rp 2 miliar). Oakbay milik tiga bersaudara Gupta yang dikenal dekat dengan Presiden Afrika Selatan saat itu, Jacob Zuma. Perusahaan itu mendapat banyak order dan pemiliknya kaya raya. Kemudian pada April 2018 Presiden Zuma menjadi pesakitan korupsi.

Awalnya, proyek Bell Pottinger-Oakbay hanya ditujukan untuk kegiatan komunikasi korporat, termasuk pengelolaan reputasi. Kegiatan tersebut pada September 2016 berkembang menjadi kampanye politik. Kampanye politik pada hakikatnya merupakan hal yang biasa, walaupun tentunya berisiko. Yang menjadi masalah nasional adalah tema kampanye dan cara yang digunakan. Dengan menggunakan bahasa provokatif dan menyebarkan kebencian, Bell Pottinger mengangkat tema: “Monopoli Kulit Putih” menguasai ekonomi Afrika Selatan, sementara sebagian besar penduduk hidup dalam kenestapaan.

Kampanye yang dijalankan oleh Bell Pottinger menciptakan ketegangan antarras. Kerusuhan-kerusuhan rasial melanda Afrika Selatan dikompori oleh kampanye yang disutradarai Bell Pottinger. Media sosial digunakan dengan sangat aktif, antara lain dengan menciptakan lebih dari seratus akun Twitter untuk me-retweet konten dari akun-akun Twitter lain yang tagarnya sudah direncanakan dan kental dengan nada rasis. Belum lagi berbagai situs yang sengaja dibuka untuk tujuan yang sama dengan dukungan media cetak dan televisi milik keluarga Gupta.

Efek “Spinning”
Para klien mencium keterlibatan Bell Pottinger dalam menciptakan ketegangan sosial di Afrika Selatan dan mulai membatalkan kontrak mereka. Direksi mencoba mengatasi keadaan dengan meminta sebuah firma hukum internasional melakukan penelitian independen. Firma itu mengonfirmasi adanya pelanggaran-pelanggaran etika dan kelalaian Direksi dalam menetapkan prosedur dan pengawasan internal. Rekomendasi yang diberikan pada Juli 2017 antara lain membentuk komite untuk evaluasi klien baru, khususnya yang berpotensi risiko; melatih karyawan dan pimpinan tentang media sosial; membentuk komisi etika dan memberi pelatihan etika untuk karyawan; serta menumbuhkan budaya, di mana karyawan junior sekalipun dapat mempertanyakan tugas yang membuat mereka tidak nyaman.

CEO Bell Pottinger setuju untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi tersebut namun semuanya sudah terlambat. Pemegang saham besar mulai melepaskan kepemilikannya, klien-klien memutus kontrak, dan karyawan mengundurkan diri. Pada 4 September 2017, asosiasi perusahaan PR dan komunikasi Inggris, Public Relations and Communications Association (PRCA) memecat Bell Pottinger dari keanggotaannya dengan alasan melanggar Kode Etik organisasi tersebut dan tidak profesional sehingga merusak reputasi industri PR. Bell Pottinger kemudian dinyatakan bangkrut dan terpaksa gulung tikar.

Tindakan salah satu unit di Bell Pottinger yang akhirnya menghancurkan perusahaan itu termasuk dalam kategori spinning, yang sampai awal 1990-an justru dianggap sebagai salah satu kepiawaian PR. Spinning adalah upaya mencari publikasi dengan cara apa pun juga dan menyampingkan faktor kebenaran. Pendekatan inilah yang telah merusak reputasi profesi dan kegiatan public relations.

 

Noke Kiroyan
Chairman & Chief Consultant, Kiroyan Partners

Artikel ini telah dipublikasikan di Majalah PR Indonesia Edisi 38|Th IV|Mei 2018, halaman 55.