News

Narasi dan Personal Branding Jadi Kunci Kepemimpinan yang Menggerakkan

Dalam dunia komunikasi modern yang serba cepat dan penuh distraksi, peran narasi semakin menemukan urgensinya. Hal ini ditegaskan oleh praktisi komunikasi senior sekaligus Dewan Penasihat Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), Kandi Windoe, dalam sesi berbagi yang digelar oleh PR Navigation.

Menurut Kandi, narasi bukan sekadar susunan kata indah atau jargon yang dibangun di media sosial. Narasi adalah kerangka besar yang membentuk persepsi publik, membangun kepercayaan, hingga menentukan reputasi seorang pemimpin. “Komunikasi itu bukan hanya publikasi di media sosial. Yang lebih penting adalah narasi. Narasi itulah yang bisa mempersatukan, memberi makna, dan menggerakkan orang,” ujarnya di hadapan para peserta.

Dalam paparannya, Kandi mencontohkan bagaimana figur publik seperti Kang Deddy Mulyadi berhasil menggunakan narasi yang dekat dengan akar budaya Sunda. Dengan narasi yang membumi, pesan kepemimpinan tidak hanya terdengar, tetapi juga dirasakan masyarakat. “Personal branding itu tidak bermakna jika tidak disertai narasi. Karena narasi adalah alat kepemimpinan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kandi menekankan bahwa narasi harus bersifat otentik. Narasi yang hanya berhenti pada tataran wacana tanpa tindakan nyata akan dianggap sebagai pencitraan semata. “Narasi tanpa aksi hanya akan dilihat sebagai pencitraan. Tetapi ketika ada program nyata yang berdampak, narasi menjadi autentik dan membangun reputasi positif,” jelasnya.

Selain keotentikan, konsistensi dan integritas disebut Kandi sebagai dua fondasi penting bagi seorang pemimpin. Narasi, aksi, serta nilai-nilai yang dibawa harus berjalan selaras agar mampu menumbuhkan kepercayaan publik. “Pada akhirnya, publik akan menilai apakah narasi seorang pemimpin benar-benar mencerminkan keikhlasan dan jati dirinya,” ujarnya.

Pesan Kandi ini relevan tidak hanya bagi para pemimpin politik atau tokoh publik, melainkan juga untuk praktisi Public Relations (PR). Dalam konteks profesi, PR dituntut untuk tidak hanya sekadar menyebarkan informasi, tetapi juga merangkai narasi besar yang membawa dampak positif bagi organisasi dan masyarakat.

Perhumas sendiri, sebagai organisasi profesi PR nasional, telah lama mendorong anggotanya untuk membangun komunikasi yang berintegritas, kredibel, dan berdampak. Melalui berbagai inisiatif, termasuk kampanye “Indonesia Bicara Baik”, Perhumas menekankan pentingnya narasi dalam membangun reputasi bangsa.

Kandi menutup sesinya dengan menegaskan bahwa narasi yang kuat bukan hanya soal kepiawaian berbicara, melainkan juga tentang warisan yang ditinggalkan seorang pemimpin. “Narasi adalah jejak yang akan dikenang. Ia bukan hanya apa yang dikatakan, tetapi juga apa yang dilakukan, dan bagaimana hal itu memberi dampak nyata bagi orang banyak,” pungkasnya.