Jakarta, 30 Juli 2025 – Di tengah kemajuan teknologi, penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam bidang komunikasi semakin tak terelakkan. Dalam praktik Public Relations (PR), AI hadir sebagai alat bantu yang memudahkan pekerjaan, mulai dari menyusun konten hingga menganalisis percakapan publik. Namun, di balik kecanggihannya, muncul satu pertanyaan besar tentang batas antara efisiensi teknologi dan tanggung jawab moral?
Pertanyaan ini dibahas dalam diskusi rutin yang diadakan melalui kolaborasi Good News From Indonesia (GNFI) dengan Perhumas pada GoodTalk Off-Air bertema“Penggunaan AI dalam Kerja PR: Antara Etika dan Reputasi” pada Selasa, 29 Juli 2025, di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Ketua Indonesia Artificial Intelligence Society dan Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Dr. Ir. Lukas, MAI, CISA, IPU, menyoroti tiga tren besar AI dalam komunikasi: kecepatan produksi pesan, kemiripan konten AI dengan buatan manusia, dan bergesernya fokus dari apa yang disampaikan ke siapa yang menyampaikan.
Namun ia mengingatkan, “AI bisa menyusun kata, tapi hanya manusia yang bisa memberi makna.”
Berangkat dari penjelasan tersebut, Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Keanggotaan dan PERHUMAS Muda, Rizky C. Saragih, menegaskan bahwa keputusan akhir dalam komunikasi harus tetap berada di tangan manusia.
“Etika, konteks, dan rasa itu semua tidak bisa digantikan oleh mesin.”
Studi kasus dari Blue Bird yang dibawakan oleh Head of Corporate Communications PT Blue Bird Tbk, Sekar Adisty Prabandari,, memperkuat pernyataan tersebut. Blue Bird menggunakan AI untuk chatbot dan analisis publik, namun tetap mengandalkan pengawasan manusia agar pesan tetap relevan dan empatik.
“Human connections adalah nilai yang tidak kami lepaskan, meskipun teknologi terus berkembang.”
Sementara itu, Co-Founder & Chief of Communication GEMA Worldwide dan Ketua Bidang Pengembangan Keanggotaan dan Perhumas Pemuda, Steve Saerang, mengingatkan pentingnya membangun budaya AI yang etis melalui lima hal: leadership, policy, training, tools-system, dan public engagement. Menurutnya, transparansi juga harus menjadi standar baru.
“Kalau pakai AI, ya bilang saja. Jangan biarkan publik merasa dibohongi.”
Oleh karena itu, PR bukan hanya soal akurasi data atau kecepatan pesan, tetapi juga soal empati, tanggung jawab, dan kepercayaan. Diskusi ini menjadi pengingat bahwa secanggih apapun teknologi, komunikasi tetap tentang manusia. Kampanye #IndonesiaBicaraBaik yang diusung PERHUMAS pun semakin relevan menekankan pentingnya menyampaikan hal-hal positif, bukan hanya dari sisi isi pesan, tapi juga dari nilai, proses, dan niat baik di baliknya.
Penulis : Zahira Diva Andani