News

Peran Humas Angkat Reputasi RI

Tulisan Opini ini terbit di Harian Bisnis Indonesia 27 Juli 2019 – Akhirnya Pesta demokrasi terbesar kitapun usai. Publik ingin melihat kedepan, what’s next untuk Indonesia. Dalam orasi Visi Indonesia, Presiden Joko Widodo memaparkan lima poin yang akan menjadi fokus utama pemerintahannya dalam 5 tahun ke depan. Selain melanjutkan pembangunan infrastruktur, Jokowi juga menyoroti pentingnya memangkas penghambat investasi, reformasi birokrasi APBN tepat sasaran, dan membangun SDM sebagai strategi pembangunan Indonesia ke depan.

Kalau kita menilik ke belakang, harus diakui kita bisa merasakan berbagai pencapaian prestasi pemerintah selama ini. Artinya, fondasi yang dibangun periode sebelumnya sudah cukup kuat dan akan diperkuat pada periode 2019-2024 serta membangun sebuah legacy.

Presiden juga mengatakan perlunya membangun Indonesia yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif. Prestasi Indonesia itu memang menjadi modal kuat bagi kita semua. Selain fondasi perekonomian yang kokoh, iklim politik di negeri ini terus membaik.

Namun, bukan berarti pekerjaan rumah Indonesia selesai. Sehebat apapun seorang kepala negara, dia tidak bisa memajukan pemerintahannya sendiri. Dibutuhkan kolaborasi dari semua elemen pemerintahan , BUMN, swasta, akademisi, masyarakat dan lainnya.

“Tidak ada satupun negara yang maju dan sejahtera kalau rakyat terpecah belah. Tidak ada negara maju diamnapun yang rakyatnya pesimistis,” tegas Jokowi. Oleh karena itu, dalam konteks kehumasan, saya tambahkan perlunya membangun narasi optimisme Indonesia dalam 5 tahun kedepan. Bagaimana humas bisa berkontribusi dan berperan aktif? Peran fungsi humas pada dasarnya adalah mensosialisasikan pesan positif dan prestasi-prestasi kepada publik agar terbangun sebuah kepercayaan (trust) dan reputasi.

Pada masa periode 5 tahun lalu, dalam opini saya, peran humas sudah sangat terasa berkembang dan ini menjadi aset tersendiri bagi pemerintah ke depan. Oleh karenanya, dalam periode 2019-2024, kinerja humas selayaknya mampu mengartikulasi Visi Indonesia dalam agenda setting program kerja kehumasaan yang tepat sasaran. Humas harus mampu membuat narasi-narasi, menginspirasi, menebarkan optimisme, mencerdaskan bangsa, sehingga reputasi Indonesia kian dipercaya dimata dunia. Ketika kita bisa melakukan itu, maka akan berdampak pada reputasi negara ini. Indikator suksesnya tentu saja dampak positif pada peningkatan perekonomian nasional, mulai dari trade, tourism dan investasi. Termasuk kompetensi talenta Indonesia yang mampu bersaing di kancah global.

Disinilah peran fungsi humas, baik pemerintah, swasta dan akademisi harus siap berkolaborasi dan berfungsi secara strategis. Bukan sebagai individu dan tersilo, melainkan kepentingan bersama, sehingga konsistensi narasi dan kejelasan agenda setting menjadi kunci yang mendesak. Dalam hemat saya, peran strategis humas tidak akan efektif jika tidak memiliki agenda setting yang jelas. Ada persepsi terminologi agenda setting berkonotasi propaganda. Bisa jadi demikian. Namun dalam kontents ini, saya lebih melihat kekuatan agenda setting sebagai tujuan dan aktivitas membentuk narasi dan opini publik terhadap reputasi Indonesia sebagai sebuah brand.

Tentunya bukan hal yang mudah untuk mewujudkan semua itu. Coba kita lihat beberapa tantangan yang harus diantisipasi humas ke depan. Yang pasti, pada era Digital Society 5.0 membangun reputasi Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Jika dulu kuncinya adalah konten, namun kini algoritma dan artificial intelegence (AI) memiliki peran penting. Mereka seakan mengatur konten yang ingin kita sampaikan. Artinya pada era disrupsi seperti sekarang ini, semua pesan-pesan, content, pitch, blast, upload dan share yang humas hasilkan, bisa jadi tidak sampai ke target pembaca. Dengan kata lain, publik tidak bisa melihat riil dari kinerja humas.

Menakutkan? Tentu saja! Artinya algoritma yang memutuskan apa yang target pembaca anda harus baca atau lihat, bukan pilihan humas! Dalam era digital, hal ini sudah menjadi tantangan besar dunia humas. Bukan tantangan di masa depan, tapi sekarang humas harus beradaptasi dengan algoritma dan AI. Digital Society 5.0 adalah satu dari banyak tantangan di luar yang perlu dihadapi para humas.

Tantangan lainnya, saya melihat ada masalah krusial pada profesi humas. Dan itu datang dari dalam diri masing-masing pelaku humas. Dari berbagai literatur kehumasan dan pengamatan selama ini, saya melihat salah satu fungsi peran strategi humas adalah managing perception. Pengelolaan persepsi untuk membangun reputasi positif tidak saja dibutuhkan bagi sebuah negara seperti korea selatan, china ataupun india. Namun juga korporasi Global Fortune 500, para CEO perusahaan, para politisi, selebritas, hingga individu sekalipun. Kita sebagai bangsa misalnya, ingin di perspesikan seperti apa dalam kancah global?

Setiap individu, organisasi, dan negara secara strategis perlu mengelola persepsi tentang diri mereka kepada para pemangku kepentingan, agar bisa mengubah opini dan menunjukan kinerja sukses selama ini. Sayangnya, banyak humas yang belum memahami fungsi mereka secara konkret. Persepsi yang timbul dari kebanyakan orang bisa jadi timbul dari praktisi humas sendiri yang melihat fungsi mereka sebatas taktikal dengan menggelar konfrensi pers, membuat events, rilis, mendokumentasi acara, atau mengatur protokoler. Akhirnya jauh dari fungsi strategis dari profesi humas.

Dalam mendukung Visi Indonesia 5 tahun kedepan, humas selayaknya ditempatkan diposisi strategis dalam pemerintahan dan organisasi. Sebaliknya, profesi humas Indonesia pun harus segera beradaptasi dengan perubahaan dan kompeten akan ilmu kehumasaan, sehingga bisa lepas dari stigma profesi yang identik dengan seremoni dan protokoler. Tanpa kompetensi, praktisi humas Indonesia akan sulit bersaing dan tertinggal dengan praktisi humas dari negara-negara maju bahkan Asean sekalipun.

EMPATI

Anda mungkin pernah mendengar nama Satya Nadela, CEO Microsoft. Dia menceritakan proses wawancara kerja saat akan bergabung dengan Microsoft 20 tahun lalu. Dalam wawancara terakhir dilakukan dengan seorang senior bernama Richard Tait. Dalam wawancara tersebut, Richard hanya bertanya satu pertanyaan.

Dia bertanya. “Imagine you see a baby laying on the street and the baby is crying. What would you do?” Tanpa pikir panjang, Satya langsung menjawab “I call 911”. Richard berdiri dan berkata bahwa wawancara ini selesai. Dia berdiri dan mengantar Satya keluar pintu sambil berkata. “If a baby crying and lying on street, you pick up the baby! You need some empathy!” Satya pun syok. Dia tetap diterima Microsoft. Namun, pertanyaan itu mengubah dirinya.

Empati menjadi kunci sukses bagi Microsoft, bagi Brand, pelanggan, produk dan kerja sama tim. Satya mengatakan “Empathy grounds me and centers me!”. Dalam kontkes peran humas dalam mensukseskan Visi Indonesia, humas harus memiliki syarat-syarat kompetensi, adaptif, kreatif, inovatif, melek digital, berwawasan global, dan berintegritas. Lebih dari itu, humas juga harus memiliki empati. Rasa memiliki dan menjadi bagian sepenuhnya dari Indonesia. Visi Indonesia adalah semangat optimisme. Saatnya humas Indonesia membangun narasi-narasi #Indonesiabicarabaik, untuk hari ini, esok dan selamanya!