News

Future PR : Marketing Becomes More PR?

World Public Relations Forum (WPRF) 2018 telah usai di gelar pada 22-24 April 2018 di Oslo Norwegia, empat orang perwakilan dari PERHUMAS Indonesia sebagai organisasi Humas terbesar yang sudah berusia 45 tahun, serta menjadi anggota dari Global Alliance turut hadir dan juga secara langsung bertemu dengan Duta Besar Oslo, Bapak Todung Mulya Lubis di KBRI Oslo.

Jika flashback pada sejarah penyelenggaraanya, awalnya  WPRF diadakan di Roma (2001), London (2008), Stockholm (2010), Melbourne (2012), Madrid (2014), Toronto (2016), kemudian Oslo menjadi kota yang dipilih pada tahun 2018 ini dengan penyelenggara, Global Alliance for PR and Communication Management bekerjasama dengan organisasi PR Norwegian Communication Association (NCA).

Tiga topik utama yang menjadi pembahasan yaitu Truth, Profit & Intelligence mendapat perhatian khusus dan menjadi perenungan bagi para praktisi PR, akademisi, PR agensi dari berbagai negara. Dari ketiga topik besar tersebut diturunkan kembali kedalam beberapa sub topik yang dipresentasikan oleh berbagai pakar dunia, saya akan share beberapa yang cukup krusial saja.

Truth, Profit, Intelligence

Menarik ternyata setelah berjumpa dengan beberapa peserta disana, isu apa yang sedang dihadapi di negara masing-masing peserta menjadi pembahasan saat sesi networking. Jika di Indonesia kita digempur dengan yang namanya hoaks, begitupun di Afrika Selatan, Brazil, India, dan Argentina.

Saat kita familiar dengan hoaks, praktisi PR dari Eropa, Amerika dan negara maju lainnya, menggunakan frase lain yaitu  false news atau fake information.  Truth pada pembahasan topik utama banyak membahas mengenai berbagai teori dan praktek truth, post truth dan fakta-fakta lainnya dalam menghadapi gempuran berita-berita palsu, khususnya dalam praktek komunikasi politik.

Sementara topik Profit disampaikan oleh pakar Prof. Mervyn King dari Afrika Selatan,  ia menjelaskan mengenai bagaimana merubah dari paradigma profit menjadi value creation. Dalam konteks  ini perusahaan didorong untuk tidak melulu menargetkan keuntungan semata, namun lebih menciptakan banyak kebijakan dengan pendekatan bisnis model dan output profit, people and planet dengan dimensi-dimensi pada Sustainable Development Goals (SDGs).

Nilai-nilai ini lebih menarik bagi investor dalam jangka panjang. Termasuk didalamnya bagaimana perusahaan bergeser untuk lebih fokus pada isu-isu keberlanjutan. didalamnya terkait integrated reporting, penyusunan sustainability report based global reporting initiative menjadi bagian dari strategi fokus pada komunikasi CSR untuk reputasi jangka panjang.

Dalam pembahasan sub topik Intelligence, dibahas tentang Artificial Intelligence (AI). Sarab Kochhar, Direktur Riset PR di Amerika, dia sendiri saat presentasi  mengaku cukup beban untuk membawakan dan mempersiapkan materi mengenai intelligence tersebut, dengan penuh humor dia mengatakan bahwa “untungnya saya cukup cerdas untuk bicara tentang AI”.

Intinya, saya menangkap pesan bagaimana tools AI setelah peradaban digital dan Big Data, kedepannya mampu  menciptakan percepatan dalam setiap aspek  organisasi, sektor apapun, level jabatan manapun, mau tidak mau akan bersentuhan dengan AI. Bagi para praktisi PR sendiri AI mampu meningkatkan produktivitas kerja dan berbagai tugas-tugas rutin PR seperti dalam kompetensi PR writing, menganalisa sentiment di media, juga sebagai alat ukur untuk efektivitas PR digital.

Beberapa pakar, guru besar dari berbagai Universitas, praktisi dan PR Agensi  ternyata telah menyusun panel, bagaimana dampak AI ini pada profesi PR.  Dibawakan oleh Alastair, McCapra, CEO dari CIPR Inggris.  Kesimpulan awal dari hasil riset tersebut :

Pertama, Peran PR pada level dasar / entry-level mungkin akan menjadi yang pertama yang benar-benar menghilang tergantikan dengan AI; Hal ini menjadi tantangan dan akan menimbulkan masalah besar bagi para fresh graduate yang baru bergabung di industri PR.

Kedua, PR Profesional perlu untuk menemukan cara-cara baru sehingga memberikan nilai bagi klien atau stakeholdernya, dengan memanfaatkan platform dan tools baru dan mengembangkan value chain.

Ketiga, keterampilan dasar PR dianggap paling terkait dan yang pertama kali diotomatisasi; sedangkan kemampuan dan atribut yang lebih umum yang memberikan kualitas dan integritas akan lebih sulit untuk diotomatisasi dengan AI.

Yang menggembirakan, adalah tidak benar bahwa pekerjaan manajerial atau kreatif  akan terancam dengan adanya AI; justru AI dapat mendukung dan memudahkan praktisi PR dengan beberapa fungsi dan pekerjaan PR yang diotomatisasi beberapa tugas rigid bisa dilakukan dengan bantuan AI, contohnya dalam dashboard press release dan menyebarkan pada group media, atau media dapat menarik rilis dari dashboard yang kita siapkan.  Inilah salah satu dampak yang besar dari teknologi AI untuk para praktisi PR.

“Future PR, Relationship and Content”

Daniel Tiesch dalam materinya yang berjudul “The elevation of PR in the age of fake news. 7 Mega Trends News & PR”  membuat banyak peserta tertegun, saya sendiri juga memberikan perhatian lebih saat daniel menyampaikannya, terlepas dari aura kecerdasannya, selain itu juga karena cara pembawaanya yang mudah dipahami dan topik yang sangat menarik.

Ia menyatakan : Why PR need to own content in Marketing? Why marketing content means for PR Industry? PR must form to be more organization listening. Kita semua dituntut untuk lebih banyak mendengar dan lebih sedikit berbicara, we listen more and less speak! Ketika kita banyak mendengar, hubungan kepercayaan akan tercipta, risiko akan lebih kecil sedangkan kesempatan menjadi semakin besar.  Kolaborasi sangat penting dan PR people harus memiliki kapabilitas untuk take charge pada berbagai peran dan fungsi baik hubungan internal maupun hubungan eksternal.

Terkait dengan big data dan artificial intelligence, PR dapat mengambil peran lebih besar dengan informasi yang bermanfaat dan mendukung pengambilan keputusan, dengan data yang berlimpah semestinya, kita bisa lebih powerful dan memiliki insight yang lebih kuat.

Sementara itu, hasil riset dari Global Communication Report 2017, yang memaparkan bagaimana pandangan terhadap marketing yang menjadi seperti PR,  sebagian besar marketing professional percaya bahwa PR akan semakin dekat dan align dengan marketing sebanyak 61%. Sedangkan PR people memandang bahwa PR akan semakin dekat dan align dengan marketing sebanyak sekitar 45%.

“PR is the new Marketing but Marketing should not lead PR”

Terlepas setuju atau tidak, beberapa bulan terakhir ini saya juga merasakan bagaimana kedekatan, bersinggungan dan align  antara aktivitas PR dengan Marketing.  Saat ini tantangan industri semakin berat, korporasi harus lebih lincah, lebih efisien, lebih banyak mendatangkan profit, content-content pada media sosial misalnya yang semula didedikasikan untuk edukasi, sosialisasi, membangun reputasi, sedikit demi sedikit harus diupayakan untuk dimbangi dengan content promosi produk dan layanan perusahaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ini kenyataannya, dengan sukahati kita melakukanya, karena ini untuk keberlanjutan.

Perusahaan tentunya masih tetap memerlukan PR, karena dasar dari PR ini adalah komunikasi, dan komunikasi membangun empati, pemahaman, respect dan trust. Etika dan standar professional juga penting ditengah kembali gempuran hoaks, fake news, false information.  Bagaimana cara mengantisipasi, menyeimbangkan informasi palsu, jawabannya adalah PR yang memiliki etika Professional! Kedepan PR akan lebih strategis, lebih analitis dan lebih sedikit teknis.