Opini

Resiliensi Dan Optimisme Humas Di Ambang Resesi

“If I was down to my last dollar, I would spend it on PR.” – Bill Gates.

Jakarta, 7 September 2020 – Indonesia di ambang resesi jadi headline di media nasional yang muncul hampir setiap hari. Ini masalah serius yang terus-menerus diingatkan para ekonom, bahkan para menteri hingga presiden. Krisis ekonomi yang melanda dunia akibat Covid-19 memang mulai dirasakan dampaknya oleh Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pada kuartal dua tahun ini, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi di kisaran -3,5% hingga -5,1% dengan titik tengah -4,3%. Penurunan terjadi hampir di seluruh sektor, mulai dari perdagangan, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan lainnya. Pemotongan gaji, gelombang PHK, daya beli yang melambat telah memengaruhi berbagai industri, dan saya yakin tidak terkecuali dunia humas.

Seorang ekonom menjelaskan bahwa perkembangan industri humas berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi kita. Jika pertumbuhan ekonomi nasional naik, bakal berdampak positif pada humas, marketing, dan advertising. Sebaliknya, jika turun, humas pun terkena dampak.

Covid-19 telah mengubah lanskap bisnis secara signifikan. Wajar bila dunia bisnis dari berbagai spektrum akhirnya berpikir ulang dan memprioritaskan anggaran. Dunia korporasi maupun pemerintah sama-sama cemas. Alhasil, mereka menghentikan kegiatan iklan, pemasaran, dan humas. Sekilas, ini terlihat pilihan yang sangat masuk akal.

Tapi, apakah ini bijak? Baik dalam kondisi resesi ataupun normal, dalam opini saya peran fungsi strategis humas tetaplah sama; membangun trust dan memastikan efektivitas komunikasi secara timbal-balik antara organisasi dan target audiensnya.

Fungsi humas korporasi maupun pemerintah memiliki tujuan yang didasarkan pada perspektif jangka panjang (long term views) dengan tujuan akhir ialah trust dan reputasi publik yang positif. Dalam konteks sekarang, saat kita berada di ujung resesi, bukankah ini urgen?

Faktanya, masyarakat tidak akan pernah berhenti membaca berita atau mencari konten-konten selama resesi. Organisasi melakukan opsi pengurangan bujet, praktisi komunikasi perlu menemukan cara agar tetap terhubung dan berkomunikasi dengan publik, pelanggan, dan audiens utama mereka. Dan, humas jadi salah satu cara paling efisien dan hemat biaya untuk mengeksekusi semuanya. Quote dari Bill Gates di atas jadi contohnya.

Ada beberapa bukti sejarah ekonomi yang mendukung mengapa kita harus terus melakukan aktivitas humas dalam kondisi apa pun. Riset McGraw-Hill pada 1980-an misalnya, menganalisis 600 perusahaan B2B. Hasilnya, mereka yang tetap melakukan, bahkan menaikkan bujet marketing dan komunikasinya, berhasil mencatatkan kenaikan penjualan hingga 275% pada 1985.

Hal ini diamini oleh riset Strategy Planning Institute (SPI) dan Cahners Publishing Company, yang menemukan bahwa perusahaan yang tetap agresif pada resesi 1980-an, justru bisa menaikkan pangsa pasar mereka. Hal ini dikarenakan banyak kompetitor, khususnya perusahaan kecil yang justru mengerem aktivitas humas dan marketing mereka.

Artikel Harvard Business Review yang dirilis tahun 2010 menyebutkan mayoritas perusahaan yang memotong banyak anggaran dengan cepat justru tidak mendapatkan manfaat. Hanya 21% yang dikatakan berhasil. Sisanya, justru imej brand mereka jadi negatif di kemudian hari.

Memang, memotong anggaran pada masa krisis bisa menyelamatkan cash flow perusahaan untuk jangka pendek. Namun, hal itu juga membuat brand awareness dan pendapatan Anda melemah ketika krisis berakhir.

Justru, perusahaan yang menaikkan investasi humas dan marketing yang mendapatkan keuntungan untuk jangka panjang. Sebab, krisis pasti akan berakhir. Sehingga, brand Anda tetap diingat masyarakat ketika pandemi berakhir.

Hal ini menunjukkan masa resesi bukan alasan bagi korporasi atau praktisi humas untuk menghentikan aktivitasnya. Ketika banyak manajemen memotong anggara, praktisi humas harus adaptif dengan kondisi yang ada.

Oleh karenanya, humas tidak boleh menjalankan aktivitas seperti biasa. Dengan bujet seminimal apa pun, humas harus mencari cara yang berbeda, tidak menyerah dengan keterbatasan anggaran. Humas harus memiliki karakter resiliensi atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi yang sulit.

Ada beberapa hal yang bisa menjadi pegangan. Pertama, memanfaatkan kecanggihan teknologi. Pandemi membuat aktivitas masyarakat terhambat, tapi perusahaan harus tetap menjaga relasi dengan para stakeholders. Produk teknologi seperti media sosial, blog, situs, podcast, webinar, dan lainnya menjadi media untuk menjangkau mereka. Namun, pastikan humas telah membuat communication plan terlebih dahulu. 

Kedua, berpikir paradoks. Banyak praktisi berpikir ketika kompetitor menahan ekspansi, maka waktunya kita beristirahat sejenak. Ini pemikiran yang keliru. Justru, ketika kompetitor mengurangi aktivitas mereka, sekarang adalah kesempatan bagi humas untuk terus menjaga relasi dengan stakeholders.

Kompetisi merebut perhatian audiens pun akan semakin mudah. Sehingga, ketika krisis berakhir, perusahaan kita yang paling diingat oleh stakeholders karena brand kita tetap ada dalam pikiran dan benak mereka.

Ketiga, kreatif. Aktivitas humas tidaklah searah, melainkan dua bahkan multi-arah. Kita harus menyampaikan pesan dengan alasan yang jelas dan relevan. Misalnya saja yang dilakukan IKEA.

Ketika gerai mereka tutup akibat pandemi, perusahaan asal Swedia ini tetap menjalankan aktivitas humas seperti menghadirkan resep bakso andalan mereka hingga cara menata ruangan. Di sini, IKEA terus menjaga hubungan dengan para stakeholders melalui konten yang kreatif dan relevan.

Anda, saya, dan kita semua tidak bisa memprediksi kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Namun, yang pasti, selalu ada peluang di tengah ancaman ini. Kita pun harus memiliki karakter resiliensi atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit, seperti masa resesi sekarang ini. Sehingga, semangat optimisme humas tetap terjaga.
Sumber: WartaEkonomi.co.id