Opini

Percaya, Tapi Verifikasi!

Jakarta, 5 Mei 2020 – Desember 1987, sewaktu penandatanganan Perjanjian Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF) dengan Pemimpin Rusia Mikhail Gorbachev, Presiden Reagan dalam pidatonya menggunakan pepatah Rusia, “doveryai no proveryai” yang berarti percaya (trust) tapi verifikasi (verify)!

Mikhail Gorbachev tersenyum mendengar frasa itu. Namun, ia menyindir Reagan, “Anda selalu ulangi itu di setiap pertemuan.” Para hadirin tertawa. Reagan tidak kalah cepat menjawab, “I like it.” Akhirnya sejarah mencatat Presiden Ronald Reagan lah yang mempopulerkan frasa “trust but verify” ini.

Ada yang berargumen bahwa ungkapan Presiden Reagan ini oxymoron. Jika kita sudah trust, mengapa harus diverifikasi lagi? Jika masih harus verifikasi artinya tidak ada trust disana, bukan?

Sama seperti jika Anda ditanya, apakah suka film tersebut? Dan Anda menjawab, “Saya suka, tapi alur film tersebut terlalu dramatis”. Arti harfiah yang bisa saya simpulkan dari jawaban itu bahwa Anda tidak suka film tersebut. Tentu saja argumen ini sah-sah saja.

Ada perspektif lain mengapa konteks trust but verify ini relevan menurut saya.

Pertama, dalam industri dimana situasi hidup atau mati dipertaruhkan trust but verify menjadi aspek penting. Sebagai contoh saja, industri farmasi dalam prosedur bedah, perawatan kesehatan, terlebih dalam situasi keselamatan atau keamanan. Sudah ada trust di sana, tetapi verifikasi dan konfirmasi mutlak perlu. Bahkan sebelum terbang, pilot dan co-pilot di dalam cockpit pesawat akan membaca prosedur checklist sebelum take-off dan landing sekalipun sudah trust dengan sistem dan engine pesawat mereka.

Terlebih dalam konteks pandemi Covid-19 ini. Mau tidak mau, kita pun harus mengadopsi standar yang sama. Karena kepercayaan yang buta (blind trust) bisa disalahgunakan.

Terutama karena begitu banyaknya sumber berita dan media di Indonesia saat ini. Dewan Pers memperkirakan ada sekitar 47.000 media dan hampir 79%-nya media abal-abal, dengan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Atau, membuat berita yang berasal dari perusahaan media lain. Hal ini tentu cukup meresahkan!

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan sepanjang 23 Januari hingga 21 April 2020 saja sudah ada 568 kabar bohong terkait Covid-19. Tepatnya ada sekitar 1.260 kasus. Bahkan misalnya pernah ada berita bohong yang beredar, menjelaskan orang yang tidak pernah ke luar negeri tidak akan terinfeksi Covid-19.

Selama Covid-19 ini, kita menerima begitu banyak informasi dan tautan yang disebarkan melalui WhatsApp kita. Apakah tautan informasi itu sudah diverifikasi? Dan penyebaran hoaks terbanyak melalui Facebook sebesar 81% dan WhatsApp sebanyak 56-58%.

Tingkat literasi Indonesia terendah kedua di dunia, satu tingkat di atas Botswana dan 65% masyarakat mempercayai hoaks, kabar bohong. Artinya jika trust but verify tidak diaplikasikan, hoaks dan fakenews, akan mengarahkan publik pada tindakan yang salah, membahayakan kesehatan dan mental. Bahkan lebih jauh lagi membahayakan ketahanan NKRI.

Trust dan Ekonomi

Saya teringat tulisan Stephen M.R. Covey dalam bukunya yang berjudul The Speed ​​of Trust! Covey menuliskan banyak pertanyaan sinis tentang trust. Apakah trust bisa diilustrasikan secara terukur dan berdampak nyata pada ekonomi?

Covey mengusulkan sebuah formula sederhana. Rumus ini memungkinkan kita melihat trust menjadi faktor nyata dan terukur. Rumusnya Covey didasarkan pada wawasan kritis dan observasi bahwa kepercayaan (trust) selalu berdampak pada 2 hasil yaitu kecepatan (speed) dan biaya (cost).

Ketika kepercayaan (trust) naik, kecepatan (speed) juga akan naik dan biaya (cost) akan turun.

Begitu pula sebaliknya, ketika kepercayaan (trust) turun, kecepatan juga akan turun dan biaya akan naik.

Sebagai contoh, Covey menjelaskan apa yang kita rasakan dampaknya saat ini.

Sebelum Tragedi 9/11, kita bisa tiba di airport sekitar 30 menit sebelum pesawat take-off, bahkan bisa cepat melewati proses security bandara. Tetapi setelah 9/11, prosedur dan sistem di semua airport berubah total. Demi meningkatkan kepercayaan dan keselamatan para penumpang, semua airport dunia berlakukan sistem ekstra dan peralatan keamanan berlapis.

Demi memastikan kita punya cukup waktu dan clearance airport security, kita pun harus menyediakan waktu antara 1,5 hingga 2 jam untuk penerbangan domestik dan 2 hingga 3 jam untuk penerbangan internasional. Ini hanya salah satu contoh saja. Ketika kepercayaan menurun, kecepatan juga turun karena waktu yang harus kita sediakan dan biaya otomatis naik karena airport harus keluarkan banyak dana untuk safety.

Proses verifikasi yang bijaksana menjadi sangat penting bagi kita. Butuh kolaborasi pentahelix dari semua lapisan agar publik menerima informasi yang akurat. Sekarang, lebih dari waktu-waktu sebelumnya, kita harus miliki sense of Trust but Verify!

Agung Laksamana, M.Sc., MCIPR, Hon. FAPR
Ketua Umum PERHUMAS