Opini

Harmoni Komunikasi, Jadi Tantangan

Jakarta, 11 April 2020 – Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah antisipatif penyebaran Covid-19 di Indonesia sejak akhir Januari 2020. Namun, hingga awal Maret 2020, belum terlihat adanya strategi komunikasi pemerintah untuk menangani virus ini.

Hingga akhirnya Presiden RI Joko Widodo mengumumkan adanya dua pasien positif Coronavirus Disease (Covid-19) di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kasus muncul di saat masyarakat belum punya cukup informasi tentang cara mencegah terjadinya infeksi. Kepanikan tak bisa dihindari. “Pemerintah saat itu belum terkoordinasi, masif, dan intensif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat,” kata CEO Center for Public Relations, Outreach, and Communication (CPROCOM) Emilia Bassar secara tertulis, Sabtu (11/4/2020).

Pemerintah tampak terkejut dan mulai kehilangan kendali dalam menyampaikan informasi. Hingga terjadi banyak kesimpangsiuran informasi, saling bantah dan tuding. Menurut Emilia, kondisi ini timbul karena sedari awal pemerintah belum menjalankan pedoman manajemen komunikasi saat krisis.

Padahal, pada tahap belum terjadi krisis, pemerintah seharusnya menyiapkan mulai dari perencanaan manajemen krisis, membentuk dan melatih tim penanganan krisis dari berbagai K/L yang terkait langsung (Kemenkes, BNPB, Kemenkominfo, dan KSP), membuat pedoman komunikasi krisis bagi pemangku kepentingan, hingga menunjuk juru bicara dan membuat key messages yang disepakati oleh tim penanganan krisis.

Ia tak memungkiri meski Presiden telah menunjuk juru bicara pemerintah dan Kepala BNPB sebagai Gugus Tugas Percepatan Penaganganan Covid-19, perbedaan pandangan, keputusan, dan informasi masih kerap ditemui di lapangan. “Membangun harmonisasi komunikasi di lingkungan pemerintah pusat memang masih menjadi tantangan tersendiri di negeri ini,” ujarnya. “Kantor Staf Presiden dan Kemenkes telah mengeluarkan Protokol Komunikasi Publik. Tetapi, strategi komunikasi dengan satu komando, satu pesan utama yang sama (narasi tunggal), dan disiplin siapa bicara apa, masih harus menjadi komitmen bersama untuk dilaksanakan,” imbuhnya.

Untuk itu, kata peraih gelar doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada ini, lakukan koordinasi dan komunikasi yang ketat serta intensif antara tim penanganan Covid-19 di pemerintah pusat dengan daerah untuk menghasilkan data dan informasi yang sama, terkini, dan akurat. Bentuk Tim Krisis yang cepat dan responsif di pusat dan daerah yang merupakan bagian dari Gugus Tugas yang telah dibentuk.

Konsisten dan Transparan
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam menyusun strategi komunikasi di saat pandemi. Pertama, menyusun analisis situasi melalui berbagai data atau sumber. Kedua, melakukan pemetaan isu, pemangku kepentingan utama, dan media komunikasi yang sesuai dan tepat dengan situasi pandemi ini. Ketiga, membuat program komunikasi strategis untuk tiga bulan ke depan. Keempat, membuat rancangan monitoring dan evaluasi untuk setiap kegiatan komunikasi yang akan dilaksanakan. Kelima, membuat usulan konten per minggu yang berisi tujuan komunikasi, key messages, dan konten harian dalam seminggu sesuai dinamika isu pandemi Covid-19.

Yang pasti, kata Emilia, lakukanlah komunikasi yang tansparan, konsisten, informatif, disertai langkah nyata. Jaga gestur saat bicara di depan publik. Tunjukkan empati dan kesungguhan menangani pandemi. “Hindari memaparkan data yang berbeda. Jangan menampilkan konflik atau pertentangan di depan publik,” ujarnya.

Hal lain, berdayakan komunitas lokal hingga tingkat RT/RW untuk menangani Covid-19. Tanganilah hoaks dengan data dan informasi yang benar, valid, positif, dan menghibur. Jangan tabu menggandeng influencer/figur publik yang peduli dengan isu ini. Beri mereka data dan informasi penanganan Covid-19. Biarkan mereka berkreasi sesuai kapasitas masing-masing. Sehingga, masyarakat punya pilihan untuk menerima informasi.