News

Trend PR, Media dan Politik 2019 Dalam PERHUMAS Coffee Morning

Jakarta – Sebagai acara pertama dalam tahun 2019, PERHUMAS Coffee Morning kembali diselenggarakan. Mengangkat tema “Public Relations, Media and Political Trends of 2019” sebagai diskusi, para praktisi humas dan mahasiswa datang berkumpul untuk mendengarkan paparan. (24/01/19)

Pada kesempatan kali ini PERHUMAS mengundang A. Sapto Anggoro (Pemred Tirto.id dan Co-Founder Binokular.Net), Agung Laksamana (Director Corporate Affairs at APRIL dan Ketua Umum BPP PERHUMAS), Effendi Gazali (Pakar Komunikasi Politik). Dalam kesempatan kali ini masing – masing pembicara memaparkan pandangan mereka tentang tren pada 2019 dalam bidang Humas, Media dan Politik.

Dalam sesi pertama A. Sapto Anggoro menyampaikan bahwa perkembangan media pada era kini telah membawa disrupsi bagi beberapa pelaku industri media. Pada 2018 saja banyak media yang gulung tikar, contoh mudah yang kita ketahui di Indonesia adalah Tabloit Bola yang mengalami gulung tikar tepatnya pada 28 Oktober 2018 dan Majalah Rolling Stone Indonesia pada 1 Januari 2018. Hal ini semakin membuktikan bahwa kita harus dapat terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang berimplikasi pada industri. Sementara media sosial berkembang menjadi salah satu sumber informasi publik, media massa seharusnya mampu bertransformasi. Karena media massa memiliki independensi sehingga berita yang bersumber dari media mainstream terpercaya, mengingat marak berkembangnya berita disinformasi.

Pada sesi selanjutnya Agung Laksamana membuka paparan dengan mengingatkan hadirin untuk memahami apa yang berbeda dari Pemilu di Indonesia pada 2019 ini. Pesta demokrasi yang akan kita hadapi pada 2019 ini adalah pertama dalam sejarah, caleg, presiden dan wakil presiden dipilih dihari yang sama dengan jumlah pemilih 190jt di 17 April 2019. Memasuki masa politik/Pemilu publik bisa terbagi menjadi dua sisi bahkan tiga sisi, informasi menjadi terdistorsi dan dipenuhi dengan Opini dan berita Politik secara Konstan. Efek samping dari situasi politik saat ini adalah meningkatnya potensi konflik di masyarakat, pemilih menjadi lebih emosional daripada rasional, berita disinformasi semakin marak.

Lebih mendalam Agung Laksamana menjelaskan bahwa dunia bisnis sudah berubah. Pada era kini khalayak akan selalu terhubung dengan gedget, dengan rata-rata orang Indonesia menghabiskan 5,5 jam waktu mereka sehari untuk mengakses informasi melalui mobile phone mereka. Dengan fenomena ini media informasi telah bertransformasi, dengan melihat publik yang terus terhubung dengan gedget mereka maka media pun berubah agar dapat menjangkau audiens mereka. Untungnya Indonesia adalah Negara dengan Media Massa terbanyak di dunia. Indonesia memiliki sekitar 47.000 MEDIA  terbagi media cetak, radio, televisi dan media online. 2.000 media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk local, sisanya media online.

Sementara perang melawan hoaks – fake news terus berlanjut, perkembangan teknologi saat ini sudah sampai pada level yang sangat luar biasa. Belum lama ini teknologi Artificial Intelligence (AI) sudah mampu membuat video Barrack Obama bicara mengenai apapun yang diprogramkan. Belum lagi fenomena fake influencer dan fake followers yang semakin marak demi menarik perhatian khalayak sesungguhnya. Sementara dalam bidang lain sudah dikembangkan robotorial yang mampu membuat berita dan menjadi news anchor. Melihat perkembangan media yang luar biasa, hal ini membuat kita terpapar informasi yang sangat banyak. Kondisi tersebut sangat menyulitkan kita untuk menyampaikan informasi kepada publik, membuat atensi publik berkurang.

Melihat perkembangan yang terjadi tersebut, humas harus mampu melihat kesempatan dalam tantangan di era disrupsi. Humas harus jeli melihat bagaimana dunia bisnis berkembang dan apa yang menjadi atensi CEO atau pimpinan. Humas juga harus mampu memahami audiens mereka. Pola prilaku publik harus diperhatikan agar mampu memahami apa cara yang tepat untuk menyampaikan pesan pada publik. Humas harus mampu menciptakan content digital mereka sendiri. Dengan memahami publiknya, infografis lebih disukai atau bahkan lebih condong pada melihat video adalah salah satu contoh prilaku publik dalam memilih informasi.

Pemaparan semakin hangat ketika Effendi Gazali menjelaskan bahwa dalam menghadapi tahun politik pertama-tama kita perlu berdamai dengan diri sendiri. Mengingat dalam tahun politik teman bisa bermusuhan, bahkan keluarga bisa bertengkar hanya karna berbeda dukungan. Selanjutnya beliau menjelaskan dalam era big data, ini menjadi persoalan content dan discontent. Dunia tengah memasuki era populisme dalam konstelasi politik, ditandai dengan daya tarik pesan populis tentang sikap politik dan ideologis, berita yang berpusat pada kepribadian dan didorong oleh konflik, visi politik terbagi rapi antara “rakyat” dan “elit”, perubahan besar dalam ekologi media kontemporer seperti fragmentasi dan pemeliharaan gerbang berlapis-lapis, dan media sosial dan mobilisasi digital yang kondusif bagi gaya komunikasi populis.

Perkembangan komunikasi dunia semakin menarik apabila kita melihat contoh kasus yang terjadi. Seperti di Perancis, untuk menganalisis gerakan sayap kanan La Manif Pour Tous dan kampanye mereka melawan apa yang mereka sebut “teori gender di sekolah-sekolah”, kemudian Effendi mengutip Harsin (2018) yang mensintesis teori-teori pasca kebenaran yang masih baru (terkait dengan Donald Trump dan Brexit) dan teori emosi dalam populisme. Setelah mengidentifikasi kualitas populis mereka, ia menganalisis lima kualitas post-truth gerakan terkemuka ini di Facebook dengan adanya fake people, ketidakpercayaan aktif, emosi, bom rumor dan serangan balik atau respon.

Apabila dilihat kembali fenomena ini menjadi menarik, terdapat perbandingan menarik yang saling berhubungan antara era big data dengan era populism (Post-Truth). Dalam era big data semua menjadi lebih murah, lebih baik, lebih terbuka, lebih terjangkau aksesnya dan lebih pintar, cepat dan akurat. Sementara dalam era populism (Post-Truth), terdapat daya tarik sikap politik dan ideologi yang menonjol, pesan dimotori oleh konflik dan berpusat pada personalitas, elit melawan rakyat, fragmentasi dan mobilitas digital dan media sosial. Hal ini menjadikan media mainstream menggunakan bahan dari media sosial sebagai berita.

Lebih lanjut Effendi Gazali menjelaskan bahwa, Post-Truth bahkan mampu mengantarkan Donald Trump menjadi Presiden. Jika melihat perbandingannya dalam studi kasus tersebut Hillary menyampaikan 29 kali kebohongan sementara Trump menyampaikan 113 kali kebohongan dalam kampanyenya bersumber dari politicofact. Dalam hal ini media sangat menentukan informasi yang diterima publik, apabila publik terus menerus dipaparkan terhadap berita yang disinformatif, maka publik pun akan terpengaruh. Untuk itu media atau pers perlu menyampaikan fakta secara tepat, dan menghimbau para praktisi humas untuk berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu dalam menjalankan aktifitasnya sebagai humas agar mampu tetap profesional. (FA)