News slide

Vivere Pericoloso dan Membangun Kepercayaan di Era Hoax

Tidak terasa, Pemilu Presiden akan berlangsung lebih kurang 10 bulan lagi, tepatnya April 2019. Tapi suhu politik telah memanas, khususnya di media sosial.

Imej bakal calon dan politisi bisa melejit dalam waktu sekejap, namun juga runtuh singkat ketika terjadi blunder karena media sosial.

Bahkan ada yang berkata bahwa kita berada dalam masa Vivere Pericoloso atau tahun di tengah bahaya, mengutip judul pidato Presiden Soekarno, 54 tahun lalu.

Sebagai negara paling aktif di media sosial, topik politik menjadi tema yang paling ramai. Tentu kita tidak asing dengan tagar #2019GantiPresiden yang marak di Facebook, Twitter, WhatsApp atau lainnya.

Inilah buah kebebasan berpendapat pasca reformasi. Siapa saja bisa menyampaikan pendapatnya selama masih dalam koridor hukum.

Inilah dinamika wacana media sosial, ekspresi perbedaan sikap dan pendapat secara terbuka adalah fenomena sosial yang niscaya.

Harus diakui bahwa kampanye dari ‘lawan’ itu membuat kelompok pendukung Pemerintah Presiden Joko Widodo bereaksi. Pasukan medsos pro Presiden Jokowi pun memunculkan tagar tandingan, seperti #DiaSibukKerja, #2019TetapPresiden, #2019NantiPresiden, dan lainnya.

Layaknya adu strategi pertandingan bola ala World Cup 2018 di Russia, bertahan ketika diserang, dan menyerang ketika kesempatan datang. Intinya sebisa mungkin, gawang tidak kebobolan.

Tak cukup melawan di udara, pemerintah juga terjebak dalam dilema peran sebagai pelayan publik bagi seluruh warga negara sambil membawa misi-visi penguasa.

Strategi komunikasi

Dalam wawancara dengan Majalah Tempo beberapa waktu lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, untuk melawan bisingnya kampanye #2019GantiPresiden ini, caranya adalah menghadapi dengan strategi yang sama. “Itu kan hukum alam. Teror lawan teror. Gerilya lawan gerilya. Noisy lawan noisy,” katanya.

Viralnya kampanye #2019GantiPresiden itu sebenarnya sederhana. Dimunculkan oleh oposisi, dan menyebar karena adanya persamaan pendapat, sikap dan preferensi politik sebagian warganet.

Harus diakui, ketidaksukaan terhadap reizm yang berkuasa adalah sebuah keniscayaan dalam sistem yang demokratis. Kritik serta ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah diperlukan sebagai mekanisme check and balance.

Nah, ketika hashtag #2019GantiPresiden muncul, kelompok oposisi seperti mendapat momentum, ditanggapi, disebarluaskan dan akhirnya menjadi viral.

Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi pemerintah untuk menangkal tagar #2019GantiPresiden. Pasalnya, pemerintah kali ini termasuk pemerintahan yang telah bekerja habis-habisan.

Sayang, prestasi itu tidak banyak diketahui masyarakat secara utuh! Perekonomian yang masih terjaga di angka 5% di tengah kondisi ekonomi dunia yang belum stabil, maraknya pembangunan infrastruktur, hingga BBM satu harga di seluruh Indonesia –sebuah mimpi yang akhirnya terwujud, tertutup oleh berbagai isu buatan.

Hal ini karena kurangnya komunikasi strategis yang dilakukan oleh aparat pemerintah, termasuk kementerian-lembaga yang ada di dalamnya.

Presiden Joko Widodo pernah mengeluhkan betapa gagapnya tim komunikasi pemerintah saat ini. Dalam rapat kabinet, Presiden Jokowi meminta para menterinya aktif menjelaskan kebijakan dan capaian pemerintah.

Komunikasi one-way

Sebuah hal yang sangat penting untuk diketahui masyarakat, namun tidak sampai karena terbatasnya Komunikasi yang cenderung one-way.

Meski pun terlihat sederhana, akhirnya komunikasi yang tidak strategis ini membuat segala prestasi seperti hilang ditelan bumi. Padahal serangan hashtag yang ada terbilang sangat masif.

Sebuah hal yang wajar jika dalam pergerakan roda pemerintahan, ada kubu yang puas. Hal ini tidak bisa dijawab dengan sekedar perang tagar, namun harus dijawab dengan kongkret.

Pemerintah harus menjalankan salah satu fungsi pendidikan politik (civic education) yang tidak dijalankan pada era Orde Baru, yaitu mengajak warga negara untuk mengkritik kebijakan secara substantif.

Artinya tagar tidak cukup hanya dibalas dengan tagar. Jawaban kongkretnya bukanlah tagar balasan, tapi pembuktian kinerja.

Urgensi untuk solusi komunikasi strategis pun sangat dibutuhkan pemerintah saat ini. Toh, harus diakui kinerja selama ini juga terbilang sangat positif.

Pemerintah tidak boleh terjebak dengan serangan yang ada serta adu kuat dengan lawan yang lalu lalang di media sosial. Perang di ‘udara’ memang penting namun jangan terjebak dengan perang hashtag!

Dari perspektif Komunikasi, ada beberapa aspek yang perlu menjadi sorotan.

Pertama, di era digital, persepsi seringkali dianggap realita (Perception is reality)! Artinya, dalam kurun waktu 10 bulan ke depan, Pemerintah perlu Agenda Setting yang clear! Butuh komunikasi publik yang terintegrasi agar persepsi positif itu terbentuk.

Kedua, pembuktikan apa yang dikatakan dan lakukan (walk the talk). Di sini, aspek kejujuran dan integritas menjadi kunci. Sebagai contoh, peran kepastian hukum menjadi kritikal, bukan menjadi jargon semata.

Ketiga, aspek akuntabilitas dan kebijakan yang transparan. Di era google, semua gampang diakses dan monitor. Dan layaknya sebuah korporasi, harus ada artikulasi detail perihal performa kinerja Anda. Hal yang sama penting bagi sebuah negara.

Selanjutnya, adalah kontinuitas Dialog. Ada kutipan dari Tiongkok yang berkata: “Tell me, I’ll forget. Show me, I may remember. But involve me, and I’ll understand”. Inilah esensi dari Komunikasi publik. Bukan one-way sebaliknya membangun Dialog serta berkolaborasi aktif dengan masyarakat dan beragam komunitas.

Akumulasi dari implementasi kebijakan yang efisien, jujur, transparan, dan bertanggung-jawab tentunya berujung pada hasil yang positif. Dalam dunia Komunikasipun, input harus hasilkan tidak saja positif output namun outcomes yang berdampak kuat. Jika tidak, maka perlu re-evaluasi proses strategi lagi.

Yang pasti membangun kepercayaan (Trust) tidak bisa instan! Di tengah maraknya hoax dan fake newsyang lebih dipercaya daripada realita, lantas, apakah trust masih bisa dibangun?

Jawabannya bisa! Modal kuat pemerintah sekarang adalah capaian kinerja saat ini mampu merebut kepercayaan publiknya.

Dengan catatan, selama pemerintah memiliki agenda setting yang jelas serta channel komunikasi terintergarasi secara efektif, maka kepercayaanpun itu akan diraih. Kita akan terhindar dari Vivere Pericoloso!